Selamat datang di kelas Kerja Sama Ekonomi di ASEAN 2021! Departemen Ilmu Hubungan Internasional membuka Matakuliah Kerja sama Ekonomi di ASEAN secara perdana pada tahun 2018. Kelas ini dirancang untuk membekali mahasiswa HI UGM dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang ASEAN.
Pada 1 Januari 2016, Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) resmi diluncurkan. Upaya ini merupakan bagian dari usaha menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan kapsitas menjadi pasar dan basis produksi tunggal, pembangunan ekonomi yang merata, kompetitif, serta terintegrasi dengan pasar global (Aseansec, 2018). Kerja sama ekonomi ini tidak lahir begitu saja, sejak 1967 terdapat beberapa momentum dan batu loncatan yang perlu diketahui. ASEAN Economic Community telah dipersiapkan sejak 2008. Kelas ini dirancang untuk memberikan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional pengetahuan mengenai sejarah pembangunan di Asia Tenggara umumnya, perkembangannya dewasa ini, dan pemahaman spesifik tentang kerja sama-kerja sama ekonomi ASEAN. Dengan memahami fenomena pembangunan yang terjadi di negara-negara ASEAN, kita mendapatkan gambaran yang baik terhadap kerja sama ekonomi yang saat ini sedang berjalan melalui ASEAN, apa peluang-peluangnya dan hambatannya.
Kelas ini menawarkan perspektif Asia Tenggara dalam melihat pentingnya regionalisme. Disebabkan oleh keunikan sistem masyarakat dan budaya politiknya, ASEAN mengembangkan cara tersendiri dalam menyusun kerja sama ekonominya yang dalam banyak hal, sangat berbeda dengan apa yang telah kita pelajari dari pengalaman Uni Eropa. Misalnya saja dalam kerja sama ekonomi, ASEAN menerapkan klausul ASEAN minus X, yaitu aturan main yang membolehkan negara-negara yang belum siap menjalankan kesepakatan untuk menunda keterlibatannya agar negara-negara yang telah siap mampu melaju. Pengutamaan konsultasi dan konsensus dalam dispute settlement, demikian juga dengan scorecarding yang berdasarkan self assessment untuk mengukur sejauh mana kesepakatan-kesepakatan ASEAN Economic Community telah dijalankan. Juga Common Effective Preferential Tariffs yang ternyata menunjukkan angka-angka baik di permukaan, sedangkan hambatan non-tarif di ASEAN masih lazim dipraktikkan.
Memahami sejauh mana prinsip-prinsip “ASEAN Way” membentuk arsitektur kerja sama regional sangat berguna untuk membantu memprediksi tren di masa depan dan menavigasi hambatan serta tantangannya, misalnya saja, tingkat implementasi ASEAN Economic Community pada 2016 sesungguhnya baru mencapai 79,5% saja padahal telah diinisiasikan sejak 2008 (Menon & Melendez, 2016), apa yang menajdi hambatannya? Lalu mengapa scorecarding berhenti di tahun 2011, padahal ASEAN Economic Community masih memerlukan setidaknya 5 tahun proses persiapan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi menarik untuk diulas dalam perkuliahan.
Kerja sama ekonomi yang progersif di kawasan mampu meningkatkan kemakmuran negara-negara anggota dan pada akhirnya menjaga perdamaian. Inilah yang mendasari negara-negara di Asia Tenggara seberapa pun terkendalanya kemajuan kerja sama itu tetap menjalankan beberapa inisiasi, bahkan oleh beberapa provinsi antar negara yang mengembangkan kerja samanya melalui sub-regionalisme yang diakui oleh ASEAN. Oleh karena itu, ulasan terhadap kerja sama-kerja sama sub-regional seperti GMS, BIMP-EAGA, AMBDC dan IMT-GT dalam ASEAN juga menjadi fokus dari kelas ini.