Hukum Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Ini adalah fasilitas penunjang pembelajaran tentang desentralisasi dan otonomi daerah di program pascasarjana Ilmu Hukum UGM, untuk paruh kedua semester ini. Yang dimuat di sini hanyalah materi setelah mid-semester; setelah desentralisasi dan otonomi daerah dibatas dalam standar baku studi hukum. Di bagian kedua fase pembelajaran ini, 'hukum desentralisasi' dan 'otonomi daerah' diperbincangkan dalam standar yang lebih longgar, untuk tidak secara terus terang mengatakannya: disruptive.
- Dua issue yang digeluti dalam perkuliahan ini--desentralisasi dan otonomi daerah--sejatinya adalah serangkaian proses. Proses yang ditandai dengan penggunaan istilah '-isasi' perlu dicermati secara saksama. Di fase pembelajaran yang kedua ini, mahasiswa diajak untuk saksama, tanpa harus keluar dari koridor ilmu hukum itu sendiri. Yang harus dikedepankan di sini adalah bahwa ketidaksaksamaan itu justru berhimpitan dengan fanatisme. Yang hendak didalami dalam paruh kedua ini adalah, atas dasar apa perubahan ('-sasi') dilakukan, dan ke mana arah perubahan itu sendiri. Titik ketidak-saksamaan telaah hukum yang dibidik dalam perkuliahan ini adalah bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah wilayah exclusive kajian 'hukum tata-negara' yang kepentingannya berimpit dengan penjaminan kepentingan dan kenyamanan aparatur penyelenggara negara bekerja. Oleh karena itu, perkuliahan di fase kedua hendak dipicu dengan pertanyaan: jangan-jangan studi hukum desentralisasi dan otonomi daerah adalah studi penjaminan orang-orang yang hidup dari domain negara untuk nyaman dalam berfikir dan bekerja. Rakyat dan warga negara tidak menjadi kepedulian dan perhitungan. Selama ini warga negara telah menjalani kehidupan sehari-hari dalam berbagai wadah. Mereka mengelola kehidupan bersama dalam wadah institusi dan hukum adat. Hanya saja, karena mapannya tradisi exclusive para ahli hukum tata negara, hukum adat tidak berperan. Issue ini dalam tradisi ilmu politik dikenal sebagai state-centrism, yang rawan dibajak/ditunggangi oleh kepentingan otoriter yang membukus kesewenang-wenangannya dengan dasar hukum yang kuat. Di fase kedua pembelajaran ini pengampu matakuliah ini mengajak mengedepankan bahwa '-isasi' yang tersirat dibalik desentralisasi adalah DEMOKRATISASI atau ekspresi KEDAULATAN RAKYAT atau artikulasi warganegara yang aktif dalam memperjuangan kepentingan publik.
- Jelasnya, di bagian kedua ini juga dipersoalkan bagaimana 'studi hukum' mempersoalkan desentralisasi dan otonomi daerah. Mahasiswa diajak merefleksikan ulang cara sudut dan cara pandang, atau memperlakukan issue desentralisasi dan otonomi daerah, di samping adanya dua persoalan itu sendiri. Ada persoalan yang justru lebih mendasar namun sifatnya laten, yakni bagaimana orang-orang yang paham hukum menghukumi desentralisasi dan otonomi daerah. Ada kerangka pikir yang diasumsikan tidak problematik (nanti akan disampaikan detailnya), dan ke-apha-an kita memperbincangkannya, justru menjadikan desentralisasi dan otonomi daerah semakin bermasalah. Orang-orang yang belajar. dan paham hukum, sangat boleh jadi justru menjadi penghambat desentralisasi dan otonomi daerah kalau kebutaannya dalam memandang persoalan tidak pernah direfleksikan, apalagi diakuai. Jelasnya, studi tentang desentralisasi dan otonomi daerah di penggal kedua perkuliahan ini bersifat disruptive karena mempersoalkan asumsi dan kerangka pikir yang selama ini dianggap sudah mapan, padahal desentralisasi adalah persoalan perubahan. Dengan kata lain, kefanatikan--kalau bukan kepicikan--orang-orang yang paham hukum dengan kerangka pikir hukum tertentu (yang kekhasannya tidak disadari karena malas melakukan refleksi), sangat boleh jadi justru menjadi biang keladi kekacauan praktek desentralisasi dan otonomi daerah.
- Desentralisasi dan otonomi daerah adalah fenomena yang sifatnya interdisipliner, menjadi wilayah kajian exclusive hampir semua bidang keilmuan. Keduanya bisa diperlakukan sebagai kajian secara "syah" menutup mata terhadap kajian dari bidang ilmu lain. Desentralisasi dan otonomi dikaji secara luas dalam studi administrasi negara, yang sudut pandangnya sangat mirip; sisi buta yang dihadapi atau dijalaninya juga hampir sama. Keduanya sama-sama memperlakukan desentralisasi dan otonomi negara sebagai urusan aparatur negara dalam bekerja 'mengatasnamakan' negara. Kata-kata kunci yang dipakai adalah 'kewenangan' dan 'urusan pemerintahan' yang diasumsikan sebagai urusan exclusive mereka yang: (1) dalam kesehariannya bekerja atas nama negara, dan (2) seluruh kehidupan profesionalnya dicukupi oleh pemerintah. Yang tidak disadari--tidak diakui (?)--adalah potensi untuk menggeser agenda desentralisasi dan otonomi daerah sebagai praktek penyelamatan kepentingannya sendiri. Sebagaimana telah disampaikan di atas, kedua kajian tersebut di atas lebih mengedepankan konsep kedaulatan negara, dan tidak hirau dengan kedaulatan rakyat. Ada dimensi ekonomi dalam desentralisasi yang perlu juga penjaminan hukum. Ada persoalan akses warga negara untuk mengakses proses-proses pembuatan keputusan kebijakan yang juga perlu penjaminan hukum. Lebih dari itu, berbagai hal telah digeluti dan tidak terkodifikasi sebagai hukum positif. Hal ini penting juga untuk dicermati dan di telaah. Ada keragaman satu daerah dengan daerah lain dalam berotonomi, dan oleh karenanya perlu kepekaan terhadap cara kita mengelola keragaman.
Semoga designn pembelajaran ini menggairahkan kita untuk belajar bersama.
Teacher: Purwo Santoso, Donal Fenny Wibowo